visitors

Jumat, 06 Februari 2015

Pengemis yang Tak Mengemis

Adalah kebijakan terbaru saat ini dari pemerintah daerah di beberapa kota besar - semacam Jakarta, Surabaya, dan Bandung - yang melarang memberikan uang kepada para gepeng (gelandangan pengemis) yang berkeliaran bebas di perkotaan. Di Jakarta bahkan ada denda bagi yang memberi. Sedangkan Bandung masih sebatas himbauan yang diwujudkan dalam sebentang spanduk reklame - yang dipasang di beberapa titik - seperti yang terlihat di persimpangan Jalan Ir. H. Djuanda Dago, Jalan Diponegoro, dan Jalan Sulanjana.

 Sumber Foto : Pikiran Rakyat Online

Dalam hal ini, saya pribadi berprasangka baik bahwa pemerintah bukan melarang untuk bersedekah, melainkan dengan niatan baik supaya upaya pengentasan kemiskinan pendudukan lewat penyaluran bantuan dapat ditangani melalui lembaga sosial atau ziswaf (zakat, infak, shodakah, & wakaf) sehingga jelas aturan mainnya - meski masih ada pro dan kontra. Mengapa? Karena biasanya lembaga-lembaga ini akan melakukan survey dan pendataan sehingga nantinya sasaran, program, dan penyalurannya tepat.
Gepeng di jalanan kini memanglah (mungkin) orang yang membutuhkan. Akan tetapi, caranya dengan meminta-minta sungguh tidak elok sebagai perangai manusia yang memegang teguh kehormatannya. Iya jika sangat terpaksa, tetapi jika sudah terbiasa selayaknya aktivitas kerja, ini tentu bukan hal biasa. Perlulah solusi luar biasa untuk mengubah mentalitas yang terkadang dipikirkan sebelah mata. Kebijakan pemerintah inilah salah satunya.

Namun, seakan sebuah hukum aksi-reaksi, pascadiluncurkannya kebijakan/himbauan pemerintah tsb. para peminta-minta (atau lebih dikenal pengemis) tak kehilangan akalnya. Atau bisa jadi karena melihat persaingan dunia 'perkemisan', akhirnya dicarilah modus operandi terbaru untuk mengelabui objek-objek sasarannya. Saya pribadi mengalami beberapa modus baru itu. Mulai dari yang bertanya lokasi tertentu untuk dituju (yang jaraknya cukup tak masuk akal untuk berjalan kaki), yang mau pulang kehabisan ongkos dan take bawa 'hape', yang kecurian tasnya, sumbangan sosial, yang mau berobat, ajukan dana proposal kegiatan/penelitian dan yang-yang lainnya.

Di antara sekian banyak itu, bisa jadi ada yang betul, tetapi kebanyakan agaknya tidak. Mengapa? Karena tak sedikit pengemis yang tak mengemis itu melakukan hal sama terhadap orang berbeda padahal bisa jadi mereka telah mendapatkan hasil dari orang sebelumnya. Bahkan, lucunya, (ketika awal masuk kuliah 2009 silam) saya pernah bertemu seorang pemuda yang ingin ditunjukkan jalan pulang dan pada akhirnya mengiba untuk diberi yang, kejadian sama (dengan orang yang sama) terulang hingga saat saya berkuliah tingkat 4 (sekira 2013 silam). Ini kan aneh, masa iya empat tahun begitu terus. Dikira saya tak hapal mukanya, sedang lokasi 'mangkalnya' tak jauh-jauh dari jalur berjalan saya.

Bagi yang belum tahu harap berhati-hati. Ini bisa juga dikategorikan penipuan secara halus atau ragam peminta-minta modern atau sebut saja pengemis yang tak mengemis (dengan pakaian compang-camping ala gelandangan dan baramaen). Ini bukan semata menghalangi niat baik untuk memberi, melainkan pula dalam rangka membangun mentalitasnya agar tetap terjaga kehormatan dan martabatnya. Kita salurkan bantuan sosial kepada lembaga yang bersangkutan, kita tunjukkan bahkan antarkan ke lembaga itu pula bila ada yang meminta dan butuh bantuan. Insyaa Allaah, akan terjadi kehidupan yang teratur dan berkehormatan.

Dan satu lagi ini membutuhkan dukungan semua kalangan bahkan inilah yang harusnya menjadi megaproyek REVOLUSI MENTAL yang dikoar-koar saat kampanye pemilihan pemerintah sekarang. Sekian.

| Catatan Sebelum Jumatan, Kido.