http://www.metrogaya.com/files/pictures/artikel/global-warming.jpg
Memasuki era modern, merupakan sebuah tantangan masif untuk kelestarian lingkungan. Seakan sudah menjadi gaya hidup modern yang sarat akan teknologi, segala sesuatunya menjadi praktis. Sampai-sampai buang sampah pun sepraktisnya melempar ke mana pun dengan sadar. Ya, menjumpai orang membuang sampah sembarangan bukan hal yang tabu. Itu hanya setitik masalah lingkungan - yang dikombinasi dengan masalah karakter manusia – di antara segunung masalah lingkungan yang mendera negeri ini bahkan bumi ini. Makin lama makin jauh dari kesadaran. Makin mengakar karakter ketakpedulian lingkungan sekitar meski bukti-bukti dampak yang terjadi sudah dan sedang ada di depan mata. Dunia ini memang makin maju baik dari segi teknologi maupun di bidang lainnya sehingga orang-orang menyebutnya era globalisasi. Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi ini bukan berarti lingkungan yang harus menjadi korban bahkan alam lagi yang menjadi kambing hitam atas kerusakan dan bencana yang terjadi.
Sudah banyak kampanye lingkungan disuarakan di mana-mana, workshop, seminar, dan demonstrasi, bahkan gerakan aksi lingkungan, tetapi sayang sekali follow up-nya tidak begitu jelas. Sebagai contoh, gerakan menanam seribu pohon dan segala gerakan sejenis yang berbeda judulnya yang digembar-gemborkan adalah event-nya saja tanpa kelanjutan yang jelas. Misalnya saja, gerakan merawat seribu pohon, dsb. Itu belum pernah ada. Bias jadi pohon yang ditanam lantas didiamkan akhirnya mati kering tak terpelihara. Lain halnya dengan tagline yang lagi terkenal akhir-akhir ini yakni “Go Green” yang seakan menjadi tagline wajib sebagai embel-embel nama perusahaan untuk menaikkan brand-nya. Brand dengan tagline “go green”-nya lebih dikenal disbanding langkah nyata “go green”-nya itu sendiri. Lalu, lingkungan tetap kewalahan dengan segala potensi yang ada yang siap menerkam kelestariannya.
Masalah lingkungan ini terlampau banyak dan parah. Penulis mengambil kota Bandung sebagai contoh. Sampah yang menggunung dan berserakan di mana-mana sudah biasa. Apalagi polusi udara sumbangan dari kendaraan yang kian seliweran ke sana kemari dan padat di sepanjang jalanan di sana-sini seakan dengan rela hati dihirup hidung ini. Belum lagi limbah pencemar air sungai, tanah, dan penggundulan hutan secara sembarangan. Itu semua seakan terbiasa dan menjadi konsumsi sehari-hari telinga kita. Kemudian, mata kita pun turut mengonsumsi dengan melihat dampak yang terjadi. Banjir, erosi, longsor, pencemaran air, penyakit gangguan saluran pernafasan, dan masih banyak lagi sedang terjadi di depan mata. Namun, yang paling mengerikan adalah pencemaran karakter manusia yang kian akut dan tak peduli lingkungan. Ini tidak terjadi bukan hanya secara individual, bahkan massal. Begitu mengerikan.
Lalu siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas semua yang terjadi? Jawabannya bukan pemerintah, pengusaha, ataupun pengembang wilayah, melainkan kita semua. Setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang terjadi berkaitan dengan lingkungannya. Hanya yang jadi pertanyaan, siapa yang bias menjadi pioneer penyelamat lingkungan di masa depan. Bukan hanya sekedar aksi sendiri, tetapi juga menularkan rasa peduli dan cinta lingkungan kepada yang lainnnya. Bukan juga sekedar pemikiran solusi dan komentar kritis, tetapi juga aksi nyata. Jelasnya, aksi menjaga lingkungan dan aksi menularkanrasa peduli dan cinta lingkungan. Tentunya jika dilihat secara factual, kriteria penyelamatan lingkungan ini tiada lain dan tiada bukan harus diinisiasi oleh generasi muda yang kritis, cerdas, dan jauh berpandangan ke depan dengan berkaca pada sejarah.
Momentum 28 Oktober yang ke-83 kali inilah yang haus dijadikan sebagai modal persatuan pemuda-pemudi sebagai putera dan puteri bangsa untuk mewujudkan substansi dari ikrar sumpah pemuda. Tentunya jangan sampai tanggal 28 Oktober dan ikrar sumpah pemuda ini hanya sekedar menjadi acara ceremonial peringatan sejarah belaka tanpa melalukakan sesuatu hal nyata dan positif untuk negeri ini, Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia
Begitulah, salah satu penggalan ikrar sumpah pemuda yang dilantunkan pertama kalinya pada 28 Oktober 1928. Penggalan itu pulalah yang relevan untuk generasi muda sebagai modal dalam kaitannya Indonesia sebagai tanah airnya. Bukan hanya sebagai pengakuan belaka, tetapi juga harus melihat kondisi tanah air ini seperti apa dan aksi apa yang harus dilakukan menanggapi apa yang sedang terjadi. Tanah air ini bukan hanya untuk diakui saja, tetapi juga untuk dijaga dan dilestarikan. Berbicara tanah air berarti berbicara kondisi fisik bangsa, lingkungan sekitar tempat kita berpijak. Dibutuhkan etos aksi peduli lingkungan yang tinggi dari seluruh generasi muda bangsa untuk memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan di negeri ini. Ibu pertiwi sedang merindukan itu. Generasi penggerak sadar lingkungan. Siapa lagi selain kaum muda-mudi dengan pemikiran kritis, jernih, dan cerdasnya. Sadar lingkungan ini tidak hanya ditekankan pada generasi muda saja, tetapi juga seluruh tingkatan generasi. Generasi muda ini menjadi pioneer, agen penyelamat lingkungan. Khususnya kaum intelektual, pelajar dan mahasiswa, sangat disayangkan jika hanya berkutik dengan formalisasi pendidikan tanpa melihat kondisi lingkungan di sekitarnya. Ya, semuanya dilakukan secara bertahap. Revolusi massif sadar lingkungan itu mungkin, tetapi sangat kecil peluangnya. Jadi, penyadaran akan menjaga kelestarian lingkungan ini dapat dilakukan mulai dari hal terkecil, kelompok kecil, tetapi berkelanjutan dan menularkannya. Siapa lagi selain generasi mudalah yang dapat menjadi pioneer dalam memulihkan dan melestarikan lingkungan ini sebagai kekayaan alam yang diamanahkan Allah Yang Maka Pencipta kepada Indonesia dan sekali lagi generasi muda sebagai agen penyelamat dan penebar pesan peduli lingkungan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoFYcU3S-FXPO6kx0a5TAGcMiCjZTmXLL4bHAhIJQOV2fV9Od0LSxuPxySEblE0M9Qmb61R9u1iHRXoGzV0ujAAz08SxPXX9lJo6a0w74AovLg8PzugYZzyN0DG3N6_zsGANj70zOxh4Tm/s1600/97352_banjir-bandang-di-wasior--papua.jpg
Oleh: Kiki
Bachelor Student of Engineering Physics
Faculty of Industrial Technology
Institut Teknologi Bandung